Desa Dagangan, adalah salah satu desa yang berada di bagian utara Kecamatan Parengan, di desa yang memiliki enam dusun tersebut ada sebuah komplek makam tua, yang tak lain disebut warga setempat sebagai makam Bupati Tuban yang Ke-7 yakni Syekh Abdurrohman atau Kanjeng Raden Tumenggung Haryo Tedjo.
Konon, nama Desa Dagangan sendiri adalah pemberian dari Adipati Kadipaten Tuban Ke-7 tersebut, yang tak lain adalah Mbahnya para wali di tanah jawa. Sebelum akhirnya wafat dan dimakamkan di Desa Dagangan, Kecamatan Parengan, Kabupaten Tuban.
Dari cerita yang disampaikan Juru Kunci Makam Kanjeng Raden Tumenggung Haryo Tedjo, Samani, awal mula munculnya nama Desa Dagangan adalah ketika Kanjeng Raden Tumenggung Haryo Tedjo yang saat itu masih menjabat sebagai Adipati Kadipaten Tuban mengutus salah satu orang yang masih bagian dari keluarganya untuk membuka hutan di bagian utara Kecamatan Parengan.
Setelah datang dan "mbubak alas" atau babat tanah di bagian utara Kecamatan Parengan yang sebelumnya adalah hutan belantara itu seorang utusan adipati bermukim di sana. Saat itu, kampung tersebut masih belum memiliki nama.
Tidak lama kemudian, setelah Kanjeng Raden Tumenggung Haryo Tedjo lengser dari jabatanya, atau tidak lagi menjabat sebagai Adipati, ia bersama keluarganya yang saat itu masih tinggal di Tuban menyusul utusanya tersebut. Saat datang menyusul, Kanjeng Raden Haryo Tedjo membawa sebuah dagangan berupa Gerabah. Dari situlah, Kanjeng Raden Tumenggung menamai kampung tersebut dengan nama Dagangan.
Setelah itu, datanglah para penduduk dari berbagai daerah untuk bertempat di Desa Dagangan, sehingga menjadi desa yang ramai. Kisah sang Adipati Kadipaten Tuban beserta keluarganya dan utusanya itu pun bermukim di desa dagangan, hingga wafat dan dimakamkan di Desa Dagangan.
Sementara itu, lanjut Samani (61) peninggalan-peninggalan Mbah Nggung warga sekitar menyebutnya. Berupa dua sumur, yakni Sumur Keteg dan Sumur Migit hingga saat ini masih dimanfaatkan oleh warga sekitar. Dari cerita itu cikal bakal atau utusan Mbah Nggung yang babat tanah Dagangan tidak diketahui namanya."Utusan Mbah Nggung tidak ada yang tahu namanya, namun dipercayai utusan tersebut adalah cikal bakal Desa Dagangan, yang makamnya ada di depan area cungkup Mbah Nggung dan bercungkup kecil," kata Samani.
Sebelum kami lajutkan tulisan ini perlu diketahui bahwa cerita ini kami kumpulkan dan kami rangkum dari beberapa sumber mulai Juru Kunci Mbah K. Samani dan beberapa Tokoh desa Dagangan yang mempunyai pengetahuan Supranatural sehingga mungkin ada yang kurang cocok dengan pendapat para Pembaca maka kami terlebih dahulu Mohon maaf karena tulisan ini kami tulis dengan harapan bisa menambah kasanah cerita sejarah di wilayah Tuban kususnya.
Nama aslinya adalah Syaikh Abdur Rahman beliau adalah seorang Ulama yang kala itu merupakan seorang Tumenggung di Kerajaan Majapahit dan beliau juga sebagai menantu dari Bupati di Tuban yang ke 6 yaitu R. Hario Dikoro yang menikahkan Putrinya bernama Gusti Raden Ayu Aryo Tejo.
Dari pekawinan beliau Syaikh Abdur Rahman dan G.R. Ayu Aryo Tejo itulah beliau juga meneruskan jejak mertuanya sebagai Bupati Tuban yang ke 7. Dan dari hasil pernikahanya dengan Gusti Raden Ayu Aryo Tejo beliau menurunkan beberapa Putra / Putri antara lain bernama Dewi Condro Wati yang konon sebagai istri dari Kanjeng Sunan Ampel di Tlatah Ngampel Dento Surabaya maka bisa juga Syaikh Abdur Rahman ini sebagai bagian dari Cikal Bakal Para Waliyullah di Bumi Nusantara karena Kanjeng Sunan Ampel adalah menantu beliau.
Setelah Syaikh Abdur Rahman menjadi Bupati Tuban yang ke 7 maka nama beliau di ganti dengan Julukan Tumenggung Aryo Tejo julukan yang menyamai dengan nama Istrinya, karena pada waktu itu yang di kenal oleh Masyarakat Tuban adalah Gusti Raden Ayu Aryo Tejo sehingga nama tersebut di pakainya dengan harapan untuk dapat berbaur dengan Rakyat di wilayah Kekuasaanya yaitu Tuban. Maka mulai saat itulah nama Aryo Tejo identik dengan Nama Tumenggung atau Adipati Tuban.
Pada saat di masa masa tuanya Tumenggung Aryo Tejo seperti biasanya menerima Tamu yang sekaligus seorang saudaranya sendiri yaitu Syaikh Abdur Rohim yang berasal dari Tlatah bumi Blora, namun saat itu entah apa sebabnya Tumenggung Aryo Tejo kala itu mengajak para Prajurit Prajurit andalan dan istrinya untuk mengantar Saudaranya tersebut pulang ke Blora
Adapun Para Prajurit pilihan tersebut adalah Banteg Plontang, Demang Tameng Dodo, Purwo Kusumo, dan Ongko Wijoyo, mereka bersama sama mengawal kepergian junjungannya ke daerah Blora. Sesampainya di nDalem Syeikh Abdur Rohim di Blora mereka saling beramah tamah dengan kerabat kerabatnya yang lain. Setelah semua dirasa sudah selesai urusan dengan Saudaranya maka Tumenggung Aryo Tejo bersama rombongan berpamitan untuk kembali Pulang di Tuban.
Dan perlu kita ketahui bahwa Syaikh Abdur Rohim tersebut juga merupakan Penyebar Agama islam di Wilayah Kabupaten Blora dan sampai meninggalnya beliau di makamkan di Lingkungan Masjid Jamik Blora dekat Alun alun kota Blora dengan Nama Sunan Pojok.
Dalam Perjalanan pulang dari Blora Tumenggung Aryo Tejo mengajak seluruh pengawalnya untuk singgah menengok di daerah yang saat itu telah disiapkan sebelumnya, karena jauh sebelumnya kala itu di kawasan hutan belantara wilayah Parengan Tumenggung Aryo Tejo telah mengutus Punggawa Kadipaten yaitu Condro Kusumo yang di dampingi Istrinya yang bernama Dewi Nawang Rum untuk membuka lahan baru di wilayah Parengan (sekarang) , pada saat itu daerah yang telah di buka oleh Condro Kusumo dan Dewi nawang Rum itu belum ada namanya karena beliau berdua tersebut tidak berani memberi nama Desa sebelum Junjungaya sendiri yaitu Tumenggung Aryo Tejo yang akan memberi nama desa tersebut.
Karena Desa baru yang telah di buka oleh Codro Kusumo dan istrinya tersebut belum mempunyai nama maka beliau di kenal oleh warga setempat dengan nama Mbah Cok Bakal yaitu orang yang mengawali membuka wilayah baru di dalam hutan, dan makam beliau berdua ada di Cungkup urutan Paling Depan dari Beberapa Makam yang di keramatkan oleh warga setempat,. Dan bagi semua Peziarah sebelum memasuki Bangunan Pendopo yang di huni oleh Makam Tumenggung Aryo Tejo dan istrinya maka semua peziarah di wajibkan bertawasul dahulu membacakan Suratul Fatihah untuk mbah Cok Bakal yaitu Condro Kusumo dan Istrinya Dewi Nawang Rum.
Setelah Tumenggung Aryo Tejo bersama seluruh pengawalnya sampai di darah baru tersebut maka mereka sepakat dan berniat untuk singgah beberapa lama di daerah baru tersebut untuk memulai menyebarkan agama Islam di wilayah baru itu, maka untuk memudahkan Beliau dekat dan kenal dengan masyarakat maka beliau bersama pengikut pengikutnya memulai dengan cara berdagang benda benda gerabah mereka mengeliligi daerah tersebut sambil menyebarkan ajaran Islam dengan penduduk saat itu. oleh karena Tumenggung Aryo Tejo memulai singgah dan menyebarkan juga mengajarkan Agama Islam tersebut dengan cara Berdagang maka desa itu oleh beliau Tumenggung Aryo Tejo di beri nama desa “Dagangan”
Adapun Gerabah itu adalah alat alat rumah tangga yang terbuat dari tanah liat yang di jaman sekarang ini seperti benda keramik, namun gerabah adalah berbahan tanah liat yag di bentuk sebagai alat tempat makan yaitu Cowek, tempat Saur Cuwo, tempat air Genuk, Gentong, Kendi, Padasan dlsb.
Adapun bekas Tempat Penyimpanan / Gudang benda beda gerabah tersebut sekarang didirikan Musholla yang letaknya berada di luar arel Makam tepatnya di sebelah kiri Gapura masuk Makam..
Dirasa saat itu Tumenggung Aryo Tejo dan para pengawalnya merasa lebih nyaman untuk tinggal di kawasan yang baru yaitu desa Dagangan maka beliau dan semua pengikutnya sepakat untuk menetap di desa tersebut berbaur / bersatu dengan masyarakat kecil untuk berdakwah, sedangkan urusan Kadipaten beliau serahkan kepada generasi penerusnya.
Tumenggung Aryo Tejo bersama istrinya Gusti Raden Ayu Aryo Tejo, Banteg Plontang, Demang Tameng Dodo, Purwo Kusumo, dan Ongko Wijoyo, juga penasehat beliau Mbah Saeful Hasan dan Adipati Cokro Negoro.mereka hidup dalam suasana yaman dan Aman dengan Masyarakat hingga beliau beliau ini meninggal dan di makamkan dalam satu lokasi dalam bangunan berbentuk layaknya sebuah Pendopo di daerah tersebut.
Semua paziarah setelah memasuki Pintu gerbang Makam yang berbentuk Gapura yang bertuliskan Taman Makam Tumenggung Aryo Tejo Bupati Tuban maka peziarah akan melewati sederetan pemakaman umum dan selanjutnya akan sampai pada sebuah Cungkup yang terbuat dari Kayu Jati dan di situlah Makam tempat Mbah Cok Bakal yaitu Mbah Condro Kusumo dan istrinya Dewi Nawang Rum, yang Batu nisanya hampir tidak kelihatan karena tanah Pundung yang terkesan Angker, dan di belakang cugkup tersebut ada semacam halaman yang terdapat 4 Makam Para Pengawal Tumenggung yaitu dari urutan paling kanan adalah Banteng Plontang lalu sederet dengan Demang Tameng Dodo, Purwo Kusuma dan paling kiri adalah Makam Ongko Wijoyo. Dan mereka ber 4 inilah yang konon sebagai Pasukan Keamanan dari Tumenggung yang cukup handal .
Setelah makam beliau ber 4 ini maka kita akan sampai di sebuah bangunan besar dengan ukuran kira kira 7 kali 16 meter yang berdiri kokoh dan di dalam bangunan layaknya Pendopo seorang Punggawa besar dari Kabupaten terdapat beberapa Makam yang paling dikeramatkan yaitu antara lain Makam paling kiri yang dari cerita Juru kunci beliau adalah Guru / Penasehat Kadipaten Saeful Hasan .....lalu berjajar berikutnya Makam Paling Tinggi dan besar itulah disemayamkan Raden Tumenggung Aryo Tejo dan disampingnya istri dari tumenggung ialah Gusti Raden Ayu Aryo Tejo, lalu makam Adipati Cokro Negoro dan paling kiri juga seorang Bupati ke 26.
Demikian sekilas cerita dari Tutur tinular yang kami dapatkan dari Juru Kunci dan tokoh tokoh yang lain di wilayah Dagangan semoga bermanfaat . Wallahula’lam Bi Showab.